Sunday, December 19, 2010

Stres

Secara teoritis, dalam terminologi psikologi kesehatan, stres adalah kondisi di mana individu mempersepsikan adanya kesenjangan antara tuntutan fisiologis maupun psikologis dari lingkungan dengan su
mber daya yang dimiliki individu untuk memenuhi kebutuhan tuntutan tersebut.
Tertekan menghadapi tiga buah ujian dalam hari satu yang sama karena merasa belum menguasai bahan;
mengeluh karena harus melakukan rangkaian gerak senam lantai sementara rasanya koordinasi gerak motorik diri tidak mendukung;
tidak percaya diri saat harus memimpin sebuah organisasi; dan
merasa tidak cukup menarik untuk mendapatkan hati gebetan
adalah beberapa contoh implikasi pemahaman stres tersebut. Mudahnya, kita dikatakan sedang stres saat ada stressor (challenging events; tuntutan lingkungan) yang kita nilai tidak cukup terpenuhi oleh kemampuan kita (resources; sumber daya).
Nah, saat stres, apa sih yang kemudian kita lakukan? Mencari pelipur lara, lari dari kenyataan, atau secara heroik menyelesaikan masalah yang menjadi penyebabnya? Pilihan apapun yang Anda ambil, (lagi-lagi) secara teoritis dikenal sebagai coping. Karena stres melibatkan adanya persepsi kesenjangan, maka coping dapat dirumuskan sebagai upaya untuk mengatasi persepsi kesenjangan tersebut. Sebagai sebuah upaya, coping tidak selalu mengarah pada penyelesaian masalah (stressor-nyah). Anda bisa saja "berserah pada Tuhan" dalam menghadapi ujian karena itu membantu Anda merasa lebih mampu menghadapinya. Walaupun itu tidak membuat Anda dalam sekejap menguasai bahan, bukankah ada pepatah "do your best and let God do the rest"?
Dalam coping, Anda dapat melakukannya problem-focused (P), yang menitikberatkan pada upaya pemecahan masalah, dan atau emotion-focused (E), yang menekankan pada regulasi emosi. Berikut adalah beberapa bentuk strategi coping yang dirangkum Folkman dan Lazarus sepanjang penelitian mereka :
1. Planful problem-solving (P), di mana Anda melakukan analisa terhadap situasi untuk mendapatkan solusi dan didukung oleh pengambilan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah. Tahu bahwa Anda akan menghadapi tiga ujian sekaligus di hari Senin, Anda kemudian menimbang-nimbang waktu yang Anda punyai untuk belajar; tingkat kesulitan sekaligus banyaknya bahan tiap ujian untuk dapat menentukan bahan mana yang akan Anda pelajari lebih dulu; proporsi waktu belajar; dan cara belajar apa yang efektif.
2. Confrontive coping (P). Dalam melaksanakan strategi ini, Anda berani untuk melakukan respon yang asertif untuk merubah situasi. Anda melancarkan keberatan pada dosen atau pihak fakultas tentang dilaksanakannya tiga ujian sekaligus dalam satu hari, misalnya.
3. Seeking social-support (P/E). Strategi ini dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah maupun untuk regulasi emosi. Cemas menghadapi keharusan melakukan repertoire senam lantai yang sulit, Anda bisa meminta bantuan seorang teman untuk melatih Anda (P) atau berkeluh kesah pada sahabat (E).
4. Distancing (E) terjadi saat Anda, umumnya secara kognitif, "menjauhi" permasalahan yang Anda hadapi. Entah Anda berusaha tidak memikirkan repertoire senam lantai yang belum dikuasai atau Anda membangun pemahaman, "Ah, itu kan cuma untuk nilai olahraga ajah. Gurunya juga nilai usaha kita, yah, gak pusing lah."
5. Escape-Avoidance (E). Dalam pelaksanaannya, Anda "melarikan diri" dari masalah yang Anda hadapi. Anda dapat melakukannya dengan tenggelam dalam pikiran bahwa masalah tersebut dapat terselesaikan dengan sendirinya atau Anda menyerah latihan senam lantai karena sudah pasrah.
6. Self-control (E) adalah hal-hal yang mencakup pengendalian diri untuk memodulasi emosi. Anda mungkin murah hati memberikan toleransi pada kekurangan anggota organisasi yang Anda pimpin atau bahkan berusaha menutup-nutupi kecemasan Anda memimpin organisasi tersebut.
7. Accepting Responsibility (E). Ketika Anda menyadari posisi dalam permasalahan sekaligus berupaya memperbaiki keadaan. Saat organisasi yang Anda pimpin tidak berhasil mencapai target yang diharapkan (memenangkan suatu kompetisi, misalnya), Anda mungkin saja melihatnya sebagai akibat dari ketidakmampuan Anda melakukan pembagian kerja yang baik. Untuk itu, Anda menerima kekurangan tersebut dan melakukan perbaikan pembagian kerja.
8. Positive reappraisal (E) adalah saat Anda mencoba mendapatkan pemahaman positif dari sebuah masalah. Walaupun Anda patah hati karena merasa tidak cukup menarik sehingga si gebetan tidak memperhatikan Anda, hal tersebut Anda lihat sebagai pengalaman berharga yang mengajarkan sesuatu.
Secara umum, tidak dapat ditentukan strategi manakah yang paling baik untuk mengatasi stres. Bahkan, kita cenderung untuk mengkombinasikan strategi di atas. Sangat mungkin Anda meninggalkan masalah tersebut sejenak untuk menjernihkan pikiran sebelum berkutat menyelesaikannya. Ada begitu banyak varian masalah yang menyebabkan stres yang berbeda-beda dan, tentunya kita pun dapat memilih strategi yang tepat untuk mengatasinya.
Dengan memahami stres sekaligus strategi coping, saya harap hidup Anda menjadi lebih "mudah". Idealnya, kunci-kunci mengatasi stres telah diketahui. Nah, dapatkah Anda mencocokkan kunci-kunci tersebut?
Source: http://www.psigoblog.com

Percaya Diri


Percayaan diri merupakan suatu keyakinan dan sikap seseorang terhadap kemampuan pada dirinya sendiri dengan menerima secara apa adanya baik positif maupun negatif yang dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya.

Percaya diri adalah modal dasar seorang manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhan sendiri. Seseorang mempunyai kebutuhan untuk kebebasan berfikir dan berperasaan sehingga seseorang yang mempunyai kebebasan berfikir dan berperasaan akan tumbuh menjadi manusia dengan rasa percaya diri. Salah satu langkah pertama dan utama dalam membangun rasa percaya diri dengan memahami dan meyakini bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan yang ada didalam diri seseorang harus dikembangkan dan dimanfaatkan agar menjadi produktif dan berguna bagi orang lain (Hakim, 2002).

Seseorang yang percaya diri dapat menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan tahapan perkembangan dengan baik, merasa berharga, mempunyai keberanian, dan kemampuan untuk meningkatkan prestasinya, mempertimbangkan berbagai pilihan, serta membuat keputusan sendiri merupakan perilaku yang mencerminkan percaya diri (Lie, 2003).

percaya diri merupakan dasar dari motivasi diri untuk berhasil. Agar termotivasi seseorang harus percaya diri. Seseorang yang mendapatkan ketenangan dan kepercayaan diri haruslah menginginkan dan termotivasi dirinya. Banyak orang yang mengalami kekurangan tetapi bangkit melampaui kekurangan sehingga benar benar mengalahkan kemalangan dengan mempunyai kepercayaan diri dan motivasi untuk terus tumbuh serta mengubah masalah menjadi tantangan. Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte yang tinggi badannya hanya mencapai lima kaki dan dua inci. Tak satu haripun merasa pendek dan kerdil dihadapan lawan lawannya dan pasukannya. Namun, melihat dirinya menjadi raksasa diantara laki-laki lainnya, meskipun sebenarnya tidak demikian. Kepercayaan diri dan kebesaran hati membuatnya bersikap, bergaul, bersama orang lain dengan penuh percaya diri dan kemampuan menghadapi segala kesulitan dengan kepercayaan diri yang besar.

Menurut Thursan Hakim (2002) rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang ada proses tertentu didalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri.

Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses:

a) Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan kelebihan tertentu.

b) Pemahaman seseorang terhadap kelebihan kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan kelebihannya.

c) Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri.

d) Pengalaman didalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Aspek Aspek Kepercayaan Diri

Menurut Lauster (1997) orang yang memiliki kepercayaan diri yang positif adalah :

a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa mengerti sungguh sungguh akan apa yang dilakukannya.

b. Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan.

c. Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.

d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

e. Rasional dan realistis yaitu analisa terhadap suatu masalah, suatu hal, sesuatu kejadian dengan mengunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.

Faktor faktor yang Mempegaruhi Terbentuknya Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

a) Faktor internal, meliputi:

1. Konsep diri. Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok.

Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.

2. Harga diri. Meadow (dalam Kusuma, 2005 ) Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain.

Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.

3. Kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.

4. Pengalaman hidup. Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Lebih lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian.

b) Faktor eksternal meliputi:

1. Pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Anthony (1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.

2. Pekerjaan. Rogers (dalam Kusuma,2005) mengemukakan bahwa bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri.

3. Lingkungan dan Pengalaman hidup. Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995). Sedangkan pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan psikologis merupakan pengalaman yang dialami seseorang selama perjalanan yang buruk pada masa kanak kanak akan menyebabkan individu kurang percaya diri (Drajat, 1995).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pengalaman hidup.



Daftar Pustaka

Anthony, R. 1992. Rahasia Membangun Kepercayaan Diri. (terjemahan Rita Wiryadi). Jakarta: Binarupa Aksara.

Centi, P. J. 1995. Mengapa Rendah Diri . Yogyakarta : Kanisius
Drajat , Z. 1994. Remaja, Harapan dan Tantangan. Jakarta : CV. Ruhama
Hakim. T, 2002, Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri, Jakarta : Purwa Suara.

Lauster, P. 1997. Test Kepribadian ( terjemahan Cecilia, G. Sumekto ). Yokyakarta. Kanisius
 
Source: masbow.com